True Fiction

Sesuatu yang tadinya hanya ada dalam angan-angan, kemudian menjadi kenyataan…


Band Reunions: Silly Nostalgia, Artistic Pride or A Waste of Time?

Band Reunion

Band Reunion

Perkembangan musik dunia di pertengahan dekade 2000 lalu, diwarnai oleh kabar banyaknya band-band yang pernah mengenyam kejayaan pada masanya, akan melakukan reuni, baik sekedar tour reuni atau bahkan lebih dari itu reuni untuk menggarap karya baru. Band-band besar seperti Led Zeppelin, The Police, Genesis, Queen, Deep Purple, Fleetwood Mac, Guns ‘N Roses, Van Halen, Pink Floyd dan masih banyak lagi mengantri untuk menghibur para penggemarnya.
Sayangnya, tidak semuanya menuai kesuksesan, seperti beberapa band yang hanya menggelar reuni karena nama besarnya saja, bahkan meninggalkan personil yang menjadi icon dalam band tersebut, sementara itu, rumor telah disebar bahwa diantara mereka akan melakukan semacam rekonsiliasi, tapi pada akhirnya hal itu tidak pernah terjadi.
Meskipun daftar band yang akan melakukan reuni semakin panjang, tidak berarti makin banyak band yang sukses mengulang kejayaannya. Walaupun, beberapa dari mereka masih sempat melakukan tour reuni untuk sekedar menyapa penggemarnya.

Jika beberapa tahun ke belakang telah menjadi bukti fenomena suksesnya reuni sebuah band, itu hanyalah karena ‘perpecahan’ yang terjadi bukan sesuatu yang permanen. Band yang mengalami perpecahan secara pahit, dilatarbelakangi kebencian satu sama lain, seperti Dinosaur Jr., The Police, Pixies, atau Guns N’ Roses, harus melongok kembali masa lalu mereka yang dipenuhi dengan saling menghujat satu sama lain, hanya untuk sebuah istilah ‘nostalgia’. Para penikmat musik, para kritikus, dan sebagian besar dari kita bahkan, melihat fenomena ini hanya sebagai usaha untuk mendapatkan kembali pundi-pundi finansial yang setidaknya bisa membantu mereka mengatasi masalah ekonomi. Tidak ada salahnya, mereka berkarya, mereka berhak mendapatkan apa yang selayaknya mereka dapatkan. As simple as that.

Akan tetapi, tingginya gengsi karena hilang dari peredaran dalam jangka waktu lama, dari para personil band yang masih bertahan, seperti Queen, INXS, dan The Doors abad 21 Riders On The Storm, yang kesemuanya mulai mencoba mengulang kejayaan setelah salah satu icon band tersebut meninggal. Walau tidak sulit untuk bebas dari mitos bahwa ‘icon tidak bisa tergantikan’, demi mengeruk keuntungan, sepertinya itu tidak bisa dikatakan sebuah ide yang buruk.

Banyak band mengambil resiko mengembalikan reputasi mereka dengan memulai chapter baru dalam perjalanan musik mereka. Bahkan ada kabar beberapa personil band Pixies saling berseberangan dalam merekam album baru karena berbagai alasan. Tapi mereka tetap menggelar tour, langkah yang seharusnya ditempuh setelah album baru dibuat. Berita reuni the Pixies memang salah satu berita besar di tahun 2004, setelah beberapa kali tour dengan setlist yang sama, kurang lebih dengan ukuran venue yang sama juga, sepertinya mereka hanya butuh waktu berkumpul bersama, dan tampil disebuah acara live TV, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Pada waktu itu, banyak mata lebih tertuju pada berita reuni besar yang akan digelar The Police, awal 2007, yang dalam sebulan pertama sangat padat jadwal konsernya, akan tetapi sangat mengecewakan para penggemar karena mereka berharap sesuatu yang lebih spontanitas dari band pujaan mereka ini. Mungkin sebagian dari kita juga bertanya-tanya motivasi mereka menggelar reuni, seperti kita tahu, Sting dan Stewart Copeland saling membenci satu sama lain, dan harus membuang segala dendam untuk kembali mengeksplorasi kejayaan yang pernah mereka alami beberapa belas tahun silam. Mungkin saja mereka juga ingin menyalurkan hasrat bermusik bersama lagi ke dalam sebuah tour reuni, sekaligus mengobati rada rindu para penggemarnya.

Melakukan reuni untuk sebuah album baru adalah lain perkara. Karena ini membutuhkan kecocokan satu sama lain, chemistry, dalam proses kreatif. Kadangkala perselisihan atau kecocokan antara dua musisi menghasilkan efek yang mungkin tak satupun dari mereka bisa ciptakan bila mereka bekerja sendiri. Dan bahkan seorang Paul Westerberg lebih baik jika dia dipaksa bekerja sama dengan banyak keterbatasan, seperti kurangnya musisi bertalenta sebagai partner, yang sedikit banyak menjelaskan mengapa The Replacements dulu lebih bagus dengan gitaris Bob Stinson yang bermain sambil berlarian diatas panggung, daripada dengan gitaris pro Slim Dunlap yang tak pernah salah memainkan semua nada.

Bagaimanapun, yang terpenting dalam sebuah reuni adalah ketika perselisihan lama mulai memudar, mereka membayarnya dengan sesuatu yang baru. Sebagai contoh, banyak orang menyukai 2 album New Order sebelum perselisihan terakhir antara Bernard Sumner dan Peter Hook, tapi album tersebut tidak terdengar seperti karya New Order, mereka terdengar seperti band Britpop yang dalam kategori lumayan, tapi mengusung nama New Order. So what’s the point having a reunion?

Anda boleh berargumen disini, bahwa tour reuni atau album reuni bukanlah ide yang buruk. Tapi memang, ada juga yang sukses menambah daftar catalog mereka seperti Mission Of Burma, dengan menghasilkan dua buah album reuni yang layak bersanding dengan katalog lama mereka setelah duapuluh tahun vakum. Bahkan album Dinosaur Jr. Beyond, adalah karya susulan mereka yang solid, lebih fenomenal dibandingkan ketika frontman mereka masih J Mascis ketika masih menyandang nama Dinosaur pada era 90an.

Atau akan sangat menyenangkan jika Pavement melakukan tour lagi, atau The Smiths. Karena kedua pentolan mereka Morrissey dan Johnny Marr sedang berada dalam ‘kerukunan’. Namun, Morrissey terlalu lama berada dalam jalurnya sendiri sejak 80an, sedangkan Marr belum pernah menciptakan riffs sekaliber the Smiths sejak dia meninggalkan band yang membesarkannya dan menjadi pentolan Modest Mouse, bahkan mungkin tidak ada keinginan lagi menulis untuk the Smiths. Ditambah lagi, Morrissey dan Marr tidak terlalu apresiatif dan meremehkan kontribusi rhythm section the Smiths, dan rasanya reuni the Smiths tanpa Mike Joyce yang juga menggugat mantan koleganya beberapa tahun yang lalu dan Andy Rourke bisa dibilang reuni yang menyedihkan.

Anyway, masalah penting yang juga muncul disini adalah cara industri musik ‘memaksa’ kita berpikir dulu tentang ‘band’ tersebut awalnya seperti apa. Ini hanyalah sebuah strategi pemasaran. Ketika Journey tour tanpa Steve Perry (memang, Steve Perry bukan pendiri Journey, tapi dia yang menyanyikan hit “Don’t Stop Believin’.”) atau Styx tanpa Dennis De Young, atau bahkan Van Halen tanpa David Lee Roth, mereka hanya menarik perhatian penggemar dengan nama besarnya, bukan dengan musiknya.

Contoh lain, ketika Billy Corgan dan Jimmy Chamberlin mengusung kembali Smashing Pumpkins pada tahun 2006 tanpa James Iha dan D’arcy Wretzky, malah menggandeng musisi lain, yaitu gitaris Jeff Schroeder dan bassis Ginger Reyes serta kibordis Lisa Harriton. Kemudian, The Who, bahkan kematian John Entwistle sehari sebelum menggelar tour reuni, belum lagi sejak ditinggalkan oleh Keith Moon, tidak menghentikan Roger Daltrey dan Pete Townsend meneruskan rencananya. Walau tidak dipungkiri mungkin saja reuni ini akan menuai kesuksesan karena keduanya memang memiliki nilai jual, dengan musikalitas mereka, seperti ketika Jeff Lynne memanggil kembali teman lamanya Lou Barlow atau Richard Tandy untuk membuat album reuni dengan konsep yang sama seperti katalog lama mereka. Pada waktu Electric Light Orchestra dinyatakan bubar di era 80an, mereka masih berusaha mengusung art rock kontemporer, walau diselingi dengan nuansa-nuansa baru. Ketika Lynne dan Tandy mengusung kembali ELO dengan album Zoom pada 2001, terdengar seperti Lynne baru saja menciptakan sejumlah karya-karya klasik ELO.
Rasanya Daltrey dan Townsend tidak sedang mencoba menciptakan ‘The Who songs’, karena memang mereka sudah lama tidak berkolaborasi dan lebih sering melakukan segala sesuatunya terpisah, dan memang tidak punya niatan untuk mengulang kesuksesan karya klasik mereka ketika menggarap album baru, seperti yang mereka lakukan terhadap album Endless Wire, yang tidak terlalu jelek tapi juga tidak seperti The Who. Lalu kenapa mereka masih mengusung nama The Who, kenapa bukan Daltrey/Townsend seperti yang dilakukan Page/Plant tahun 1994.

Because some names sell, and some don’t.

Mungkin beberapa dari penggemar protes kepada R.E.M., yang tetap menganggap dirinya R.E.M., setelah Bill Berry keluar dari band pada tahun 1997 karena kondisi kesehatannya, padahal ketiga yang lainnya sangat kolaboratif satu sama lain. Kalaupun mereka mempertahankan identitas mereka dibawah nama R.E.M. selayaknya patut didukung, seperti yang dilakukan Berry ketika meminta ketiganya untuk tetap mengusung nama besar tersebut.
Meskipun dua album terakhir R.E.M. tidak sekaliber karya-karya awal mereka, sepertinya kita masih berharap mereka masih punya sense sebagai sebuah band. Mereka tidak harus pusing memikirkan apakah karya yang tercipta nanti merefleksikan musik R.E.M. atau tidak. Kalau Michael Stipe, Peter Buck, Mike Mills dan Bill Berry kembali bersatu dan berkarya, maka karya yang dihasilkan secara langsung merupakan sebuah refleksi dari musikalitas masing-masing personil R.E.M.

Entah kenapa, banyak band memainkan kartu ‘vakum untuk waktu yang tak terbatas’ setelah era rock memudar dipertengahan 90an. Salah satunya adalah Sleater-Kinney, band rock asal Amerika yang berdiri pada tahun 1994 sampai 2006, yang menurut Carrie Brownstein dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya bubar, mereka masih ada, seperti Fugazi, vakum dan kemudian muncul tahun berikutnya untuk menggelar tour. Mereka tidak menyatakan bubar, hanya ‘vakum’.

Ketika seorang musisi berpredikat sebagai solo artis, dan terkenal dengan predikat itu, kemudian mengangkat kembali nama band dengan formasi yang dia inginkan tanpa mengubah nama band tersebut, itu juga lain perkara. Tapi ketika beberapa musisi (yang pernah berada dalam satu band) dan kembali berkumpul dan membentuk sebuah band dengan nama ‘The Whatevers’ misalnya, ini seperti mereka sedang ‘memalsukan’ sebuah pakta. Karena mereka akan mencoba seperti konfigurasi awal mereka bersatu semirip mungkin. Sudah sewajarnya kalau mereka tetap memperjuangkan apa yang mereka telah lakukan sebelumnya, tetapi tetap menjunjung tinggi nama ‘The Whatevers’ tadi. Ini seperti melakukan dua pekerjaan besar sekaligus.

Sometimes, nostalgia’s not worth it.

Ketika sebuah band bersatu hanya untuk mengenang kejayaan masa lalu, bersenang-senang dengan apa yang telah mereka hasilkan, memanjakan para penggemarnya dengan berbagai konsernya, maka reuni bisa dikatakan sukses. Dengan catatan ini hanya dilakukan sekali waktu, dan dalam skala yang kecil. Di sisi lain, jika sebuah band berusaha mendapatkan kembali kejayaan yang telah lama menghilang dalam sebuah kolaborasi baru, maka yang akan kita lihat adalah hanya sebuah usaha mengulang masa lalu, yang menurut saya salah satu cara menghindari anggapan ‘kemandeg-an kreatifitas’.
Anda juga akan mendapati mereka tidak mendapatkan yang sepantasnya mereka dapatkan, ketika mereka hanya menjual nama, dan tidak menjual karya mereka. Itu yang terjadi pada sebuah band yang kehilangan iconnya.

Dan kemudian ada beberapa moment yang jarang terjadi, banyak band yang bersatu kembali karena daya tarik masa lalu mereka masih terasa kuat. Tour Jimmy Page dan Robert Plant dengan album No Quarter: Unledded adalah salah satu contoh yang bisa dibilang berhasil. Mereka dua musisi besar yang masih mempunyai karisma dan karya yang layak disejajarkan dengan kejayaannya, Led Zeppelin.

No Led Zeppelin Reunion, just Page and Plant. Good stuff. Period.

Artikel Terkait: